PUBLIKSATU, BAUBAU – Sejumlah praktisi merasa prihatin dengan kegaduhan akibat perkara dugaan kekerasan seksual terhadap AR (9) dan AS (4). Musababnya, banyak orang yang gampang tergiring opini bahkan cenderung menjadi hakim.

Kasus rudapaksa kepada anak SD dan TK itu memang sedang viral di Kota Baubau. Tidak sedikit pengguna media sosial melontarkan pendapat miring yang mendiskreditkan pihak tertentu tak terkecuali Polres Baubau. Ironisnya, pendapat itu telah mendahului fakta persidangan.

“Saya sebagai praktisi yang berprofesi sebagai advokat memang ini sangat berbahaya. Karena dengan informasi yang berkembang di media sosial itu rata-rata itu bisa mengarah fitnah dan pencemaran nama baik,” kata praktisi hukum sekaligus advokat, Muhammad Suhardi SH MH kepada wartawan, Rabu (16/3).

Menurut dia, penyidik kepolisian pasti akan berpikir 1000 kali bila berniat ‘main mata’ dalam penanganan dugaan kejahatan pedofilia (anak-anak sebagai obyek seksual). Sebab, sesuai pasal 184 ayat (1) KUHAP, penyidik wajib mengantongi minimal dua alat bukti sebelum menetapkan tersangka kepada seseorang.

“Kita harus meyakini bahwa pihak kepolisian punya Standar Operasional Prosedur (SOP) dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan. Kalau melanggar itu, maka pasti mereka akan menerima konsekuensinya. Apalagi perkara pencabulan sangat mengundang perhatian publik,” jelasnya.

“Berikan kesempatan kepada Polres Baubau khususnya penyidik perkara ini untuk memberikan untuk memproses kasus tersebut secara profesional tanpa ada intervensi dari manapun,” sambung Santos-sapaan karib Muhammad Suhardi.

Pun, ujar dia, pihak yang merasa tidak puas dengan penetapan tersangka sudah diberikan hak oleh Undang-undang untuk melakukan upaya praperadilan. Sehingga, sepantasnya orang-orang tidak perlu melempar pendapat ke ruang publik sebelum ada putusan. “Pada dasarnya negara kita ini ada asas praduga tak bersalah artinya biarkan proses hukum berjalan,” terangnya.

Untuk itu, ia berharap kepada masyarakat khususnya netizen untuk mencari fakta dan kebenaran sebelum mengeluarkan pendapat atau komentar. “Bijaklah bermedia sosial tanpa menjustifikasi siapapun khususnya penyidik yang sedang bekerja keras menuntaskan kasus ini,” tuturnya.

Aktivitas sosial, La Ode Aliyudin masih meyakini penyelidikan dan penyidikan perkara asusila itu masih dalam koridor Undang-undang Nomor 2/2002 tentang Kepolisian. Sebab, melenceng dari regulasi itu, maka akibatnya cukup fatal.

“Insyaallah, kita haqqulyakin terhadap penyidik Polres Baubau profesional menangani perkara ini. Kalau ada pihak-pihak yang mencoba mempertanyakan independensi, keseriusan dari penyidik, saya kira hari ini sementara bergulir praperadilan. Kita tunggu saja hasil sidangnya,” kata Aliyudin.

Secara sosiologis, menurut dia, perbuatan asusila bisa dilakukan oleh siapapun tanpa kecuali termasuk orang yang punya hubungan keluarga dengan korban. “Begitu ada kesempatan dan hasrat, itu (asusila) bisa terjadi. Banyak kasus seperti ini terjadi tidak hanya terjadi di Baubau,” bebernya.

Terlepas dari itu, tambah dia, opini-opini yang terus digulirkan justru berpotensi membahayakan mental korban. “Jadi, jangan berlebihan menyoroti. Saya kasian pada pihak korban,” tandas Aliyudin.

Sementara itu, Kasat Reskrim Polres Baubau, Iptu Taufik Frida Mustofa menegaskan, penetapan tersangka dalam kasus itu telah melalui penyelidikan dan penyidikan sebagai prosedur yang berlaku. Pihaknya juga membantah informasi bahwa tersangka mengakui perbuatannya karena diintimidasi dan kekerasan.

“Saksi yang kami periksa, interogasi sudah kurang lebih 15 orang. Mereka antara lain tukang, developer, menantu developer, tetangga-tetangganya, dan orang terdekat tidak satupun keterangan dan bukti yang mengarah kepada orang lain selain kakak korban,” urai Taufik.

Ia membeberkan, tersangka sempat dilakukan penahanan. Namun, karena beberapa pertimbangan dan rasa iba rajin membantu ibunya mencari nafkah, maka pihaknya menyetujui permohonan penangguhan penahanan tersangka.

“Perlu kami sampaikan, kami menghormati hak pelapor maupun kuasa hukum tersangka yang menempuh praperadilan. Kita tunggu hasil sidang praperadilan mana benar atau salah. Yang pasti kami akan menetapkan sesuai fakta dan bukti,” pungkas mantan Kapolsek Pomalaa Kabupaten Kolaka ini.

Di pihak tersangka, masih berupaya menyangkal sangkaan penyidik Polres Baubau melalui mekanisme praperadilan di ke Pengadilan Negeri (PN) Baubau. Tim kuasa hukum AP, Safrin Salam dkk menggugat Kapolri dalam hal ini Kapolda Sultra lebih spesifik lagi Kapolres Baubau.

Petitum permohonan kuasa hukum diantaranya menyatakan tindakan penetapan yang dilakukan oleh Polres Baubau terhadap AP tidak sah, memulihkan hak AP dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya, dan menghukum Polres Baubau untuk merehabilitasi nama baik AP melalui media massa.

Redaktur: Texandi