PUBLIKSATU, BAUBAU – Kerapatan Keluarga Wajo Serumpun (KKWS) menolak rencana betonisasi Baruga Benteng Keraton Wolio. KKWS menginginkan revitalisasi balai tradisional itu tetap menggunakan material kayu.

Penolakan Baruga berbahan beton itu dituangkan dalam surat pernyataan sikap yang ditujukan kepada Wali Kota Baubau Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra). Surat itu diteken oleh Majelis Tetua Adat KKWS yakni Sirajuddin Anda, Hasidin Sadif, Wisni Saidoe, Zuhuri Mahmud, Ahmad Zakir, Armin Hasyim, Abdul Wahid, Yansur, Syahril Barii, Arif Tasila, Safiudin, Takdir Muharam Rauf, dan Joni Munadi Awal.

Tembusan surat penyataan sikap itu dialamatkan ke beberapa institusi negara meliputi Presiden, Menteri PUPR, Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pelestarian Cagar Budaya, Gubernur Sulawesi Tenggara, dan DPRD Provinsi Sulawesi Tenggara.

“Kami menyatakan menolak rekonstruksi Baruga Keraton Wolio-Buton menggunakan bahan dasar beton. Kami mendukung rekonstruksi Baruga Keraton Wolio-Buton sesuai konsep konstruksi arsitektur tradisional berbahan kayu,” kata juru bicara KKWS, Joni Munadi Awal melalui press rilis yang dikirim ke redaksi publiksatu.co, Senin (13/3).

Tidak sampai di situ, ujar dia, KKWS mendesak Wali Kota dan DPRD Baubau untuk bersikap tegas, konkret, dan nyata dalam proses perlindungan kawasan Benteng Wolio-Buton sebagai kawasan khusus Kota Baubau sebagaimana tertuang dalam Perwali Nomor 179 Tahun 2022.

Meminta seluruh elemen masyarakat eks Kesultanan Buton di seluruh Indonesia termasuk di dalamnya komunitas adat, pegiat budaya, mahasiswa, Lembaga Swadaya Masyarakat, akademisi, dan wartawan untuk bersama-sama mengawal serta melindungi warisan budaya leluhur sebagai kecintaan pada jati diri dan identitas masyarakat Buton.

“Mengharapkan Presiden Republik Indonesia untuk mengawasi proses rekonstruksi Baruga Kesultanan Buton demi menjunjung tinggi nilai-nilai kearifan lokal, dan memperkaya khazanah budaya nusantara. Pernyataan sikap ini semata-mata kecintaan kami terhadap bangsa dan negara yang kita cintai,” tutur mantan anggota DPRD Baubau dua periode (2009-2014 dan 2014-2019) ini.

Lebih jauh, ulas dia, kawasan Benteng Wolio merupakan peninggalan bersejarah yang dibangun sejak masa pemerintahan Sultan Buton ke-3, La Sangaji (1591-1597) dan selesai pada masa Sultan Buton ke-6, La Buke (1632-1645). Benteng itu adalah sistem pertahanan yang dibangun pada puncak bukit batu berkapur sepanjang 2.750 meter dan seluas 23,375 hektar dengan bahan batu gunung dicampur putih telur.

Di dalam Benteng Wolio sendiri melingkupi bangunan istana (Malige), masjid kuno (Masigi Wolio), tiang bendera (Kasulana Tombi ), Baruga Keraton, makam Sultan Murhum, batu pelantikan raja (Popaua), dan goa Arupalakka (situs La Tondu), dan seluruh ekosistem perkampungan penduduk.

“Revitalisasi atau rehabilitasi atau rekonstruksi atau pemugaran, atau restorasi atau apapun perlakuan yang bertujuan pelestarian wajib mempertahankan nilai-nilai kearifan lokal, dimulai dengan keaslian bahan, bentuk, tata letak ruang, dan fungsi cagar budaya dengan mengadaptasi arsitektur tradisional,” tandas Joni.

Sebelumnya, Gubernur Sultra, Ali Mazi menyatakan Baruga Benteng Keraton Wolio Kota Baubau akan direvitalisasi tahun 2023 ini. Rencananya, bangunan peninggalan Kesultanan Buton itu tidak lagi didominasi kayu.

“(Desainnya) beton. Di Inggris sana semua beton, makanya bisa dirawat. Inggris itu pusat peradaban kerajaan paling tua,” ujar Ali Mazi dikonfirmasi di kompleks Baruga Benteng Wolio, Kamis (9/3) lalu.

Kata dia, salah satu alasan betonisasi bangunan bersejarah itu karena kayu berkualitas tinggi juga sudah sulit ditemukan. Kendati begitu, revitalisasi tidak akan mengesampingkan ciri khas asli budaya Buton, salah satunya ditopang oleh empat pilar yang memiliki filosofi sebagai kekuatan.

“Karena kalau (bahan) kayu, salah-salah kayunya bukan jati yang sudah tua dan sekarang juga susah (didapat). Kalau ada ya kita cari, tapi kita mau cari dimana, jati semua sudah rata dengan tanah,” ujar Gubernur Sultra dua periode ini.

Redaktur: Texandi